Membentuk Internal Control Culture
“…Ketika internal control system yang
dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka
setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control”.
Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal
control culture, artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya
organisasi pemerintahan di Indonesia…“
Penantian yang Cukup
Lama
Setelah terkatung-katung selama beberapa tahun,
akhirnya pada tanggal 28 Agustus 2008 PP 60/2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP) diterbitkan oleh Pemerintah untuk menjawab tantangan
birokrasi pemerintahan di Indonesia. PP ini adalah penjabaran pasal 58 ayat (1)
dan ayat (2) UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yakni
Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem
pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Meski
dikatakan sangat terlambat, tapi better late than never kiranya cukup relevan
untuk menggambarkan delay yang cukup lama ini.
Saatnya Pemerintah mengejar ketertinggalannya dan
berbenah diri mengimplementasikan PP ini ke dalam manajemen pemerintahan.
Esensi PP SPIP
Spirit yang mendasari PP ini diadopsi dari pengertian
pengendalian intern menurut Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission (COSO) yang merincikan
pengendalian intern ke dalam 5 unsur yakni lingkungan pengendalian, penilaian
risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta
pemantauan/monitoring.
Satu hal yang menarik dalam konsep pengendalian intern
menurut COSO ini adalah munculnya soft control yaitu aspek si pelaku sistem
yang tercermin dalam komponen lingkungan pengendalian, antara lain integritas
dan nilai etika, filosofis manajemen dan gaya operasi. Dalam pasal 5 PP ini,
disebutkan penerapan integritas dan nilai etika perlu diterapkan suatu aturan
perilaku yang berisi praktik yang dapat diterima dan praktik yang tidak dapat
diterima termasuk benturan kepentingan.
Sebagai contoh, batasan “ucapan terimakasih” yang
boleh diterima dari pihak yang menerima jasa pelayan birokrasi pemerintah
memang cukup sulit untuk ditentukan dan dibuktikan dalam praktiknya. Hal ini
mendorong unsur soft control ini juga perlu dibarengi dengan mekanisme
pengawasan dan penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran etika.
Selain itu, diuraikan juga dalam pasal 7, mengenai
aspek kepemimpinan yang kondusif antara lain komitmen pimpinan instansi
pemerintah dalam mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan,
menerapkan manajemen berbasis kinerja serta respon positif terhadap pelaporan
terkait keuangan, penganggaran, program dan kegiatan.
Untuk aspek hard controlnya, adalah berbagai kebijakan
dan pedoman sebagai alat pengendali dalam manajemen pemerintahan. Salah satunya
adalah kegiatan pengendalian yang terdiri dari beberapa item antara lain review
atas kinerja instansi pemerintah, pengendalian atas pengelolaan sistem
informasi, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan review atas indikator
dan ukuran kinerja serta pemisahan fungsi.
Internal Control
Culture
PP 60 tahun 2008 ini adalah langkah konkrit untuk
membentuk built in control artinya pengawasan by system. Siapapun pemegang
amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem yang akan
melakukan pengawasan guna mencapai visi, misi dan tujuan organisasi dalam arti
sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara dalam arti seluas-luasnya
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya.
Ketika internal control system yang dijabarkan dalam
SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan
birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control”. Selanjutnya,
apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture,
artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya organisasi
pemerintahan di Indonesia.
Upaya membudayakan SPIP tergambar dalam PP SPIP antara
lain, dalam hal hal sebagai berikut:
1. Menjaring SDM yang
capable dan berintegritas sebagai modal awal
Mengingat pentingnya SDM sebagai motor penggerak
internal control, dalam pasal 10 PP ini kebijakan SDM sangat diperhatikan
melalui penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang SDM dengan
memperhatikan penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan
pemberhentian pegawai, penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses
rekrutmen serta supervisi yang memadai terhadap pegawai.
Hal ini selaras dengan pandangan yang mengatakan
pentingnya the man behind the system. Secanggih-canggihnya suatu sistem, maka
masih tergantung kepada siapa yang menjalankan sistem tersebut. Sistem yang
handal bisa rusak oleh beberapa gelintir orang yang menjalankan sistem
tersebut. Contoh sudah cukup banyak, salah satunya adalah pelelangan
proyek-proyek pemerintah, yang notabene sudah dipayungi peraturan, sistem dan
mekanisme kerja yang rinci, namun tetap saja terjadi “sandiwara lelang”, mark
up, kualitas pekerjaan yang rendah, kebocoran di sana-sini, dan sebagainya oleh
orang-orang dalam birokrasi pemerintahan sendiri.
Upaya merekrut orang-orang yang berkemampuan baik dan
memiliki integritas diharapkan mampu menjaring good man untuk menjalankan good system. Internal control culture hanya dapat tercipta
oleh orang-orang yang memang memiliki integritas serta komitmen yang kuat
terhadap pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi.
2. Budaya pengendalian
intern melalui awareness akan pentingnya berbagai risiko
PP ini menekankan pentingnya penilaian risiko yang
disajikan dalam Pasal 13 s.d.pasal 17 tentang penilaian risiko yang mewajibkan
pimpinan instansi pemerintah untuk melakukan penilaian risiko yang mencakup
identifikasi dan analisis risiko. Sebagaimana diketahui krisis dunia yang
mendera perekonomian global tentu saja berdampak pada perekonomian dan
pemerintahan di Indonesia pada umumnya termasuk munculnya berbagai risiko dalam
birokrasi pemerintahan. Langkah antisipatif sekaligus proaktif menyikapi dampak
krisis harus diambil dengan menerapkan manajemen risiko dalam setiap
pengambilan keputusan, jika tidak ingin gagal dalam menjalankan visi, misi dan
tujuan organisasi.
Dengan pasal ini, setiap Kementerian/lembaga (K/L)
sudah harus mengidentifikasikan dan memetakan berbagai risiko yang dihadapi,
melakukan analisis seberapa mungkin risiko tersebut bakal terjadi, sekaligus
melakukan action plan untuk mengatasi jika risiko tersebut benar-benar terjadi.
Departemen Kehutanan, misalnya, sudah saatnya melakukan langkah-langkah konkrit
untuk mengatasi risiko kebakaran hutan, risiko pembalakan liar, risiko
perusakan hutan sebagai hutan lindung,dsb. Membudayakan manajemen risiko dalam
manajemen pemerintahan adalah salah satu bagian membudayakan sistem pengendalian
intern pemerintah di Indonesia.
3. Meningkatkan
kualitas proses pengawasan sebagai bagian dari upaya meningkatkan budaya
pengendalian intern
Pertama, pengawasan lintas
sektoral serta koordinasi antar instansi pemerintah. PP ini mengangkat ide baru
dalam mekanisme proses pengawasan yakni pengawasan terhadap akuntabilitas
keuangan negara atas kegiatan yang bersifat lintas sektoral serta perlunya
koordinasi antar instansi pemerintah.
Selama ini, pemeriksaan cenderung “selesai” pada
tataran sektoral artinya setelah diaudit oleh inspektorat di level
masing-masing dianggap permasalahan sudah selesai. Padahal beberapa
permasalahan yang mengemuka di suatu K/L seringkali terkait dengan beberapa K/L
yang lain. Sebagai contoh permasalahan angka kemiskinan dan pengangguran yang
belum kunjung surut merupakan permasalahan strategis nasional yang terkait
dengan beberapa K/L. Belum lagi masalah ketahanan pangan tentu juga melibatkan
beberapa K/L yang saling terkait.
Inilah perlunya pengawasan lintas sektoral yang belum
tersentuh selama ini serta perlunya koordinasi integrasi, dan sinkronisasi
antar K/L terkait. Diharapkan, pengawasan terpadu lintas sektoral ini semakin
menyadarkan pada pimpinan instansi pemerintah untuk tidak simplify permasalahan
sehingga mengabaikan akar permasalahan secara nasional. Bisa jadi permasalahan
yang muncul di suatu K/L adalah fenomena “gunung es” yang ternyata muncul di
seluruh K/L.
Kualitas proses pengawasan yang lebih baik secara
langsung akan meningkatkan kualitas pengendalian intern dan pada gilirannya
budaya pengendalian intern juga akan meningkat seiring dengan peningkatan
kesadaran birokrat pemerintah terhadap hadirnya pengawasan yang holistis,
integral dan bersinambungan. Pengawasan lintas sektoral yang efektif serta
adanya koordinasi yang baik akan membangkitkan internal control culture di
lingkungan instansi pemerintah.
Kedua, peningkatan
mekanisme proses pengawasan Laporan Keuangan. Spirit PP SPIP untuk meningkatkan
kualitas proses pengawasan terjabar dalam Pasal 57, yakni masing-masing
inspektorat baik di level Pemerintah Daerah maupun di tingkat K/L wajib
melakukan review secara internal sebelum diaudit oleh pihak auditor eksternal.
Secara teoritis, ini baik sekali untuk peningkatan laporan keuangan sekaligus
pada gilirannya akan meningkatkan internal control culture dalam birokrasi
pemerintahan di Indonesia.
4. Pembinaan
Penyelenggaraan SPIP
Sebagai upaya “membumikan” SPIP, PP ini juga
mewajibkan BPKP sebagai Auditor Presiden untuk melakukan pembinaan
penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis, sosialisasi,
pendidikan dan pelatihan SPIP, termasuk pembimbingan dan konsultansi serta
peningkatan kompetensi auditor APIP, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 59.
SPIP yang baru terbit dan belum genap 6 bulan
tersebut, tentunya perlu dilakukan sosialisasi/diseminasi tidak hanya ke dalam
lingkungan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) namun juga ke seluruh
komponen pelaku manajemen pemerintahan, tanpa terkecuali. Justru para key
persons dalam penyelenggaraan pemerintahan harus “melek” SPIP untuk melindungi
agar tidak terjerumus ke dalam salah urus manajemen atau bahkan “terpeleset” ke
ranah Tindak Pidana Korupsi.
Melalui komitmen dan upaya nyata menerapkan SPIP
secara konsisten dan berkesinambungan, kiranya SPIP menjadi suatu kebutuhan dan
bahkan suatu budaya. Masing-masing pihak akan dengan senang hati menjalankan
sistem pengendalian ini dan tunduk pada “built in control” yang ada di dalam
sistem ini. Efektivitas SPIP sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya SPIP
menjelma menjadi internal control culture organisasi pemerintahan di Indonesia
guna menciptakan good governance dan clean government.
*Penulis adalah Kasubag TU Pimpinan BPKP
Related Post : http://syukriy.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar