Kamis, 03 Mei 2012

PP 60/2008 tentang SPIP

Membentuk Internal Control Culture

“…Ketika internal control system yang dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control”. Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture, artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya organisasi pemerintahan di Indonesia…
Penantian yang Cukup Lama
Setelah terkatung-katung selama beberapa tahun, akhirnya pada tanggal 28 Agustus 2008 PP 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) diterbitkan oleh Pemerintah untuk menjawab tantangan birokrasi pemerintahan di Indonesia. PP ini adalah penjabaran pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yakni Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Meski dikatakan sangat terlambat, tapi better late than never kiranya cukup relevan untuk menggambarkan delay yang cukup lama ini.
Saatnya Pemerintah mengejar ketertinggalannya dan berbenah diri mengimplementasikan PP ini ke dalam manajemen pemerintahan.
Esensi PP SPIP
Spirit yang mendasari PP ini diadopsi dari pengertian pengendalian intern menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) yang merincikan pengendalian intern ke dalam 5 unsur yakni lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan/monitoring.
Satu hal yang menarik dalam konsep pengendalian intern menurut COSO ini adalah munculnya soft control yaitu aspek si pelaku sistem yang tercermin dalam komponen lingkungan pengendalian, antara lain integritas dan nilai etika, filosofis manajemen dan gaya operasi. Dalam pasal 5 PP ini, disebutkan penerapan integritas dan nilai etika perlu diterapkan suatu aturan perilaku yang berisi praktik yang dapat diterima dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan.
Sebagai contoh, batasan “ucapan terimakasih” yang boleh diterima dari pihak yang menerima jasa pelayan birokrasi pemerintah memang cukup sulit untuk ditentukan dan dibuktikan dalam praktiknya. Hal ini mendorong unsur soft control ini juga perlu dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran etika.
Selain itu, diuraikan juga dalam pasal 7, mengenai aspek kepemimpinan yang kondusif antara lain komitmen pimpinan instansi pemerintah dalam mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan, menerapkan manajemen berbasis kinerja serta respon positif terhadap pelaporan terkait keuangan, penganggaran, program dan kegiatan.
Untuk aspek hard controlnya, adalah berbagai kebijakan dan pedoman sebagai alat pengendali dalam manajemen pemerintahan. Salah satunya adalah kegiatan pengendalian yang terdiri dari beberapa item antara lain review atas kinerja instansi pemerintah, pengendalian atas pengelolaan sistem informasi, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan review atas indikator dan ukuran kinerja serta pemisahan fungsi.
Internal Control Culture
PP 60 tahun 2008 ini adalah langkah konkrit untuk membentuk built in control artinya pengawasan by system. Siapapun pemegang amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem yang akan melakukan pengawasan guna mencapai visi, misi dan tujuan organisasi dalam arti sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara dalam arti seluas-luasnya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya.
Ketika internal control system yang dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control”. Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture, artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya organisasi pemerintahan di Indonesia.
Upaya membudayakan SPIP tergambar dalam PP SPIP antara lain, dalam hal hal sebagai berikut:
1. Menjaring SDM yang capable dan berintegritas sebagai modal awal
Mengingat pentingnya SDM sebagai motor penggerak internal control, dalam pasal 10 PP ini kebijakan SDM sangat diperhatikan melalui penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang SDM dengan memperhatikan penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai, penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen serta supervisi yang memadai terhadap pegawai.
Hal ini selaras dengan pandangan yang mengatakan pentingnya the man behind the system. Secanggih-canggihnya suatu sistem, maka masih tergantung kepada siapa yang menjalankan sistem tersebut. Sistem yang handal bisa rusak oleh beberapa gelintir orang yang menjalankan sistem tersebut. Contoh sudah cukup banyak, salah satunya adalah pelelangan proyek-proyek pemerintah, yang notabene sudah dipayungi peraturan, sistem dan mekanisme kerja yang rinci, namun tetap saja terjadi “sandiwara lelang”, mark up, kualitas pekerjaan yang rendah, kebocoran di sana-sini, dan sebagainya oleh orang-orang dalam birokrasi pemerintahan sendiri.
Upaya merekrut orang-orang yang berkemampuan baik dan memiliki integritas diharapkan mampu menjaring good man untuk menjalankan good system. Internal control culture hanya dapat tercipta oleh orang-orang yang memang memiliki integritas serta komitmen yang kuat terhadap pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi.
2. Budaya pengendalian intern melalui awareness akan pentingnya berbagai risiko
PP ini menekankan pentingnya penilaian risiko yang disajikan dalam Pasal 13 s.d.pasal 17 tentang penilaian risiko yang mewajibkan pimpinan instansi pemerintah untuk melakukan penilaian risiko yang mencakup identifikasi dan analisis risiko. Sebagaimana diketahui krisis dunia yang mendera perekonomian global tentu saja berdampak pada perekonomian dan pemerintahan di Indonesia pada umumnya termasuk munculnya berbagai risiko dalam birokrasi pemerintahan. Langkah antisipatif sekaligus proaktif menyikapi dampak krisis harus diambil dengan menerapkan manajemen risiko dalam setiap pengambilan keputusan, jika tidak ingin gagal dalam menjalankan visi, misi dan tujuan organisasi.
Dengan pasal ini, setiap Kementerian/lembaga (K/L) sudah harus mengidentifikasikan dan memetakan berbagai risiko yang dihadapi, melakukan analisis seberapa mungkin risiko tersebut bakal terjadi, sekaligus melakukan action plan untuk mengatasi jika risiko tersebut benar-benar terjadi. Departemen Kehutanan, misalnya, sudah saatnya melakukan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi risiko kebakaran hutan, risiko pembalakan liar, risiko perusakan hutan sebagai hutan lindung,dsb. Membudayakan manajemen risiko dalam manajemen pemerintahan adalah salah satu bagian membudayakan sistem pengendalian intern pemerintah di Indonesia.
3. Meningkatkan kualitas proses pengawasan sebagai bagian dari upaya meningkatkan budaya pengendalian intern
Pertama, pengawasan lintas sektoral serta koordinasi antar instansi pemerintah. PP ini mengangkat ide baru dalam mekanisme proses pengawasan yakni pengawasan terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan yang bersifat lintas sektoral serta perlunya koordinasi antar instansi pemerintah.
Selama ini, pemeriksaan cenderung “selesai” pada tataran sektoral artinya setelah diaudit oleh inspektorat di level masing-masing dianggap permasalahan sudah selesai. Padahal beberapa permasalahan yang mengemuka di suatu K/L seringkali terkait dengan beberapa K/L yang lain. Sebagai contoh permasalahan angka kemiskinan dan pengangguran yang belum kunjung surut merupakan permasalahan strategis nasional yang terkait dengan beberapa K/L. Belum lagi masalah ketahanan pangan tentu juga melibatkan beberapa K/L yang saling terkait.
Inilah perlunya pengawasan lintas sektoral yang belum tersentuh selama ini serta perlunya koordinasi integrasi, dan sinkronisasi antar K/L terkait. Diharapkan, pengawasan terpadu lintas sektoral ini semakin menyadarkan pada pimpinan instansi pemerintah untuk tidak simplify permasalahan sehingga mengabaikan akar permasalahan secara nasional. Bisa jadi permasalahan yang muncul di suatu K/L adalah fenomena “gunung es” yang ternyata muncul di seluruh K/L.
Kualitas proses pengawasan yang lebih baik secara langsung akan meningkatkan kualitas pengendalian intern dan pada gilirannya budaya pengendalian intern juga akan meningkat seiring dengan peningkatan kesadaran birokrat pemerintah terhadap hadirnya pengawasan yang holistis, integral dan bersinambungan. Pengawasan lintas sektoral yang efektif serta adanya koordinasi yang baik akan membangkitkan internal control culture di lingkungan instansi pemerintah.
Kedua, peningkatan mekanisme proses pengawasan Laporan Keuangan. Spirit PP SPIP untuk meningkatkan kualitas proses pengawasan terjabar dalam Pasal 57, yakni masing-masing inspektorat baik di level Pemerintah Daerah maupun di tingkat K/L wajib melakukan review secara internal sebelum diaudit oleh pihak auditor eksternal. Secara teoritis, ini baik sekali untuk peningkatan laporan keuangan sekaligus pada gilirannya akan meningkatkan internal control culture dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
4. Pembinaan Penyelenggaraan SPIP
Sebagai upaya “membumikan” SPIP, PP ini juga mewajibkan BPKP sebagai Auditor Presiden untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan SPIP, termasuk pembimbingan dan konsultansi serta peningkatan kompetensi auditor APIP, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 59.
SPIP yang baru terbit dan belum genap 6 bulan tersebut, tentunya perlu dilakukan sosialisasi/diseminasi tidak hanya ke dalam lingkungan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) namun juga ke seluruh komponen pelaku manajemen pemerintahan, tanpa terkecuali. Justru para key persons dalam penyelenggaraan pemerintahan harus “melek” SPIP untuk melindungi agar tidak terjerumus ke dalam salah urus manajemen atau bahkan “terpeleset” ke ranah Tindak Pidana Korupsi.
Melalui komitmen dan upaya nyata menerapkan SPIP secara konsisten dan berkesinambungan, kiranya SPIP menjadi suatu kebutuhan dan bahkan suatu budaya. Masing-masing pihak akan dengan senang hati menjalankan sistem pengendalian ini dan tunduk pada “built in control” yang ada di dalam sistem ini. Efektivitas SPIP sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya SPIP menjelma menjadi internal control culture organisasi pemerintahan di Indonesia guna menciptakan good governance dan clean government.
*Penulis adalah Kasubag TU Pimpinan BPKP
Sumber: BPKP.

MATERAI



PERSEPSI
Ada satu persepsi yang sering kita dengar di kalangan aparatur pemerintah terutama yang mengelola di bidang Keuangan tentang penggunaan Materai.
Beberapa penerapan ke sesama para PNS sering melupakan penggunaan Materai untuk setiap pembayaran sebahagian kegiatan, sehingga dengan tanpa disadari tidak menerapkan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI.
Bagaimana lagi dengan masyarakat awam yang nota benenya tidak mengetahui atau bahkan tidak sekolah, dalam melakukan suatu kegiatan transaksi berbentuk uang, apakah mereka juga menerapkannya?


PERTANYAAN:
Sering pada saat dilakukan pembinaan muncul suatu pertanyaan yang tidak asing lagi bagi rekan-rekan dilapangan "emang untuk pembayaran ke-sasama PNS pake Materai Pak?".
Entah apakah suatu kebetulan, atau suatu kealpaan dan atau juga merupakan suatu budaya yang diwariskan turun temurun dari para senior ke junior yang menggantikan posisi jabatan sang bendahara .
Sayangnya apa yang diwariskan tersebut bukanlah merupakan sesuatu hal yang benar untuk diteruskan, tetapi itulah realita yang sering kita jumpai di lapangan. Bagaimana sih sebenarnya penerapan Materai tersebut sesuai dengan PP No. 24 Tahun 2000 diatas yang akan kita bahas sebagai berikut:

PP NO. 24 TAHUN 2000.
1. Kegiatan apa saja sih yang dikenakan Materai?
    Adapun Kegiatan yang dikenakan Materai sesuai dengan PP diatas yairu :
    a. Pembuatan Dokumen yang dapat berupa (yang di uraikan pada Pasal 1) ;
        1. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
            sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
            perdata;
        2. akta-akta Notaris termasuk salinannya;
        3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-
            rangkapnya;
        4. surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
            a. yang menyebutkan penerimaan uang;
            b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
            c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau
            d. yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi
                atau diperhitungkan;
       5. surat berharga seperti wesel,
       6. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengendalian, yaitu :
           1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
           2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
               digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.
   b. Cek dan Bilyet Giro (diuraikan pada Pasal 3);
   c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun dan Sekumpulan efek dengan nama dan dalam
       bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif (diuraikan pada Pasal 4).

2. Berapa sih Tarif materai yang digunakan dari masing-masing kegiatan diatas?
    Untuk masing-masing tiap kegiatan memiliki Tarif yang berbeda-beda, sebagai berikut;
    - Point a nomor 1, 2, 3 dan 6 diatas menggunakan tarif Materai sebesar Rp. 6.000,00
       (enam ribu rupiah).sedangkan  untuk nomor 4 dan 5 mengikuti ketentuan :
       a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh
           ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai;
       b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
           rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai
           dengan tarif sebesar Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah);
       c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
          dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah).
   - Point b memiliki Tarif Materai Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya
      harga nominal.
   - Sedangkan untuk Point c memiliki ketentuan :
     (1) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai
          dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.
          3.000,00 (tiga ribu rupiah), sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.
          1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 6.000,00
          (enam ribu rupiah).
     (2) Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat
           kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta
           rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah)
           sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
           dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah).

Jadi dari uraian singkat penjabaran PP diatas jelaslah bahwasanya di Peraturan tersebut memberikan perlakuan yang sama untuk setiap kegiatan tanpa memandang subjecknya, so... sampai saat ini belum ketemu atauran istimewa untuk PNS (tolong di Share klo sobat ada ketemu ya. Red) jadi mari kita jalankan aja aturan mainnya.

Semoga bermanfaat.